Follow : Like : RSS : Mobile :

Oegroseno, "Mewujudkan Polisi Seutuhnya"

Foto | Istimewa | Detakjakarta.com

Jakarta-- Usai dilantik menjadi Wakapolri, Komisaris Jenderal Oegroseno mencanangkan "Polisi kembali pada fitrahnya, yakni polisi seutuhnya". Polisi seutuhnya yakni polisi yang mampu menjalankan semua tugas kepolisian.

"Kita ingin membangun polisi yang utuh. The real Policeman. Bagaimana polisi yang nyata, bukan sabhara, bukan intel, bukan lantas. Tapi polisi yang utuh itu harus mampu menangani tugas sabhara, intel, lantas. Polisi harus mampu menangani semua tugas kepolisian, yakni sebagai pemelihara kamtibmas, pelindung, pengayom, pelayan masyarakat, penegak hukum, itu menjadi satu", kata Oegroseno kepada Detakjakarta.com di Jakarta, Selasa (6/8).

Akibat banyaknya tiang-tiang ini (sabhara, lantas, intel), menurut Oegro, saat ini kepolisian Indonesia tertinggal jauh dari Negara Barat.

"Akibat tiang-tiang ini, di lapangan polisi acapkali merasa suatu kejadian bukan menjadi tugas atau tanggung jawabnya. Sabhara merasa mengurai kemacetan bukanlah tugasnya. Atau polantas membiarkan kriminalitas karena merasa menghadapi kejahatan bukan tugasnya. Tidak boleh lagi ada seperti itu", tandasnya.

Untuk itu, lanjut Oegro, pihaknya akan meningkatkan kualitas pendidikan kepolisian, agar dapat mencakup dan dinikmati di seluruh Indonesia.

"Sangat penting meningkatkan kualitas polisi kita. Namun sayangnya kita belum punya geo pendidikan. Ini menyangkut letak geografis Indonesia yang kepulauan, berjauhan. Harus ada pendidikan jarak jauh. Polisi di Papua bila sekolah tidak perlu jauh-jauh ke Lido (Sukabumi), cukup di Irian sana, kita datangkan staf pengajarnya, atau dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Dengan demikian tidak dibutuhkan biaya tinggi, dan siswa bisa lebih focus pada pendidikan. Saat ini memang alih teknologi ini belum merata, namun akan kita upayakan", jelasnya.

Oegro yakin, peningkatan kualitas anggota Polri akan memperkuat seorang polisi dalam mengemban tugas sebagai pengayom dan pelayan masyarakat, dengan paradigma pemikiran yang lebih mengedepankan humanisme, dengan opsi tindakan utama preventif, mencegah sebelum terjadi.

"Jiwa kepemimpinan ini harus dimiliki seorang Polri. Anggota Polri harus berani mengemban tanggung jawab besar dalam masyarakatnya, harus berani tampil didepan. Karena kedepan kita akan melakukan perkuatan di lini-lini terkecil, yakni daerah, di pedesaan, dengan menempatkan satu polisi satu desa. Hal itu akan memperkuat Polri karena mampu memaksimalkan semua informasi dari lingkungan terkecil, yakni desa. Jadi kita membutuhkan banyak anggota dengan kualitas yang tinggi", kata Oegro.

Ayah tiga anak empat cucu ini mengaku menjadi Polisi merupakan cita-citanya sejak kecil, sehingga pengabdian kepada negara yang harus disandangnya yang menyita sebagian besar waktunya, tidak dirasa sebagai beban.

"Kunci utama seorang pemimpin adalah mampu berkomunikasi dengan baik. Kapanpun waktunya bila masyarakat membutuhkan, seorang pemimpin harus dapat ditemui. Allah saja mudah kita temui tanpa harus kita menunggu-nunggu, tanpa harus pake pakaian mewah....apalagi seorang pemimpin, manusia, harus lebih mudah....jangan merasa lebih besar dari Sang Khalik", imbuhnya.

Disamping kemampuan berkomunikasi, lanjut Oegro, seorang pemimpin juga harus dekat dengan masyarakatnya. "Kedekatan seorang polisi dengan masyarakat akan mampu mencegah segala tindak malawan hukum atau anarkis yang mungkin terjadi. Gunakan hati sebelum melakukan tindakan. Polisi bila menghadapi suatu hal itu juga harus bertanya pada nuraninya. Bila sesuai dengan nuraninya, ya lakukan. Keputusan melakukan sesuatu, termasuk korupsi, tentu resiko, konsekuensinya harus diterima. Jangan sudah melakukan baru menyesal, itu berarti sewaktu mengambil keputusan tidak bertanya pada hati nurani. Sedikit banyak ini akan mengurangi jumlah "polisi nakal", pungkas Wakapolri. (BUD/PUR)