Follow : Like : RSS : Mobile :

Dhimas Anugrah : Twin Tolerations, Beragama dan Pancasilais Itu Sejalan

Foto | Istimewa | Detakjakarta.com

Merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74 adalah momen yang tepat bagi segenap rakyat Indonesia untuk meningkatkan pengahayatan Pancasila sebagai filsafat dan gaya hidup berbangsa.

Terlebih, nilai-nilai yang melekat pada Pancasila berjalan harmonis dan tidak berlawanan dengan ajaran agama-agama yang dianut oleh warga negara Indonesia.

Ini seperti yang dinyatakan oleh Ketua Bidang Hubungan Antarumat Beragama Generasi Optimis Indonesia (GOI) Dhimas Anugrah.

"Sejak awal disahkannya, Pancasila bukanlah ideologi yang bertentangan dengan agama. Pancasila justru diakarkan pada nilai-nilai religius yang pada akhirnya membuat dasar negara kita menempatkan nilai-nilai ketuhanan sebagai salah satu fundamen etis bagi kehidupan berbangsa," kata Dhimas.

Menurut Dhimas hal tersebut yang mendorong Bung Karno menempatkan ketuhanan sebagai akar dari semua sila kenegaraan. "Walau waktu itu letaknya sebagai sila kelima, tetapi itu justru menjadikan ketuhanan sebagai dasar bagi semua sila di atasnya, yaitu kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat," ujar Dhimas yang juga pemerhati sosial tersebut.

Mengutip Driyarkara, seorang filsuf Indonesia di era Soekarno, Dhimas mengatakan bahwa Pancasila memiliki dua dimensi, yaitu dimensi politik dan dimensi etis.

"Dimensi politik adalah peranan langsung negara dalam ranah publik, penghormatan hak asasi, persatuan bangsa, sistem demokrasi, dan perwujudan sosial," jelas Dhimas.

"Sementara dimensi etis adalah area normatif atau nilai yang mendasari semua tindak politik itu sendiri. Dimensi etis ini dinaungi keyakinan akan Tuhan sebagai cerminan kultur bangsa yang berwarna religius," imbuhnya.

Dhimas menyimpulkan bahwa Pancasila selaras dan tidak bertentangan dengan agama-agama di Indonesia. Dua dimensi tersebut membuat negara otonom terhadap agama. Artinya, menurut Dhimas, pengaturan agama dan Tuhan bukanlah urusan langsung dari negara, tetapi proses bernegara dijalankan dengan rasa hormat dan takjub pada Tuhan Yang Maha Esa.

"Pola seperti ini diusulkan oleh Alfred Stephan sebagai hubungan toleransi kembar atau "twin tolerations" antara agama dan negara. Sehingga di Indonesia, menjadi umat beragama sekaligus menjadi warga negara yang menghayati Pancasila adalah sebuah keniscayaan," pungkas intelektual muda yang studi di Oxford Inggris itu.